Friday, 29 July 2016

Percakapan Si Kembar 15 (Special Edition)

Di sini Si Wanita. Tulisan kali ini akans edikit berbeda dari sebelumnya. Oiya, ini akan tetap berjudul Percakapan Si Kembar. Karena memang, tulis menulis bukan urusan Si Lelaki sebenarnya, ini bagianku. Mungkin akan lebih banyak tulisan deskriptif dari pada percakapan seperti biasanya. Jangan tanya kenapa. Jikapun kamu bertanya kenapa, jawabannya akan sangat simpel. Aku hanya ingin. Iya, hanya ingin menuliskannya tidak seperti biasanya. Simpel bukan ?
Baiklah, aku akan mulai bercerita. Ini lebih tentang kakakku dari pada aku sendiri. Karena cerita ini adalah cerita dimana aku belum bangkit. Cerita dimana masih kakakku sendiri yang menjalani hidup dan hanya ia yang mengalaminya, belum ada aku disisinya.
                ****
                Aku menaruh susu coklat pesanan kakakku di meja tepat di depannya, ia mengulum  senyum yang aku sungguh sangat tidak menyukainya. Aku tahu dia pintar berbohong, kita pintar berbohong. Kita bahkan menganggapnya sebagai bakat. Tapi berbohong di depan pembohong menurutku percuma. Itu tindakan bodoh. Aku mengeleng dan berdecak kesal sambil menaruh sekotak tisue di samping gelasnya.
                Aku duduk di sampingnya dan langsung menyilangkan kaki kanan diatas kaki kiriku. Tak ada permbicaraan diantara kami, kakakku masih mengangkat gelasnya mendekati mulut sambil meniupnya sebanyak empat kali kemudian meminumnya. Aku masih menunggunya membuka mulut sesuai janjinya.
                “Kamu siap?” ucapnya tiba-tiba.
                Aku mengangguk.
                Ia mulai bercerita. Apa yang dirasakan hatinya tidak sesuai dengan ekspresinya. Senyuman itu aku membencinya. Betapa ia suka sekali untuk berbohong di depanku, padahal seharusnya ia tahu itu percuma. Aku pasti mengetahuinya. Rasa sakit dihatiku yang kurasakan saat ia bercerita bukan karena ceritanya, itu berasal dari kakakku. Aku merasakannya juga. Aku tidak tahu kenapa ini bisa sesakit ini. Aku mencoba mencari-cari penyebabnya, aku tak menemukannya. Dalam hatinya, dalam pikirannya, aku tak menemukan penyebab rasa sakit yang ia rasakan –hingga aku merasakannya juga- . ceritanya memang cerita sedih tapi aku tidak tahu kenapa ia bisa begitu merasaan sakit yang amat terdalam.
                “Kamu merasakan sakitnya juga bukan ?” tanyanya di tengah ceritanya.
                Aku kembali mengangguk. Ia meminta maaf dengan sebuah senyum kembali diukirkannya, matanya meningkatkan pertahannya berusaha membuat penghalang untuk tidak meluapnya air mata miliknya. Seharusnya ia menangis saja. Kenapa ia menahannya? Abang bodoh!!
                Abang bercerita tentang seorang anak kecil. Yang hidup bahagia. Anak itu sangat bahagia. Bahagia. Menurut kakakku, ia sampai masih ingat hal-hal kecil bagaimana anak tersebut tertawa tanpa beban. Benar-benar tertawa dan menikmati apa yang dilakukannya. Seorang anak laki-laki semata wayang yang bahagia. Anak itu masih belum tahu betapa kerasnya dunia yang ia injak. Ia hanya mengetahui jika ia senang bermain, senang berada dalam dekapan ibunya, senang beramain di sungai bersama ayahnya, bahkan senang hanya dengan memiliki tiga buah kelereng kecil. Sesederhana itu.
                Hingga akhirnya, perut ibunya tambah besar. Ibunya lebih bahagia dari pada sebelumnya, ayahnyapun begitu. Dengan senyuman dan mengelus puncak kepala anaknya, sang ibu memberitahukan kepadanya itu jika ia akan mempunyai adik. Si anak kecil tersenyum, semakin lebar, semakin lebar lagi. Ia bahgia. Ia sangat bahagia.
                Hari demi hari berlalu. Si anak kecil sering mengelus perut ibunya. Menempelkan telinganya ke sana berharap dapat mendengar suara dengkuran adiknya yang tertidur didalam perut ibunya. Atau ketika ibunya memberitahukanya jika adiknya sedang menendang-nendang ia segera bergegas menempelkan telinganya. Berharap ia juga merasakan tendangan adiknya spontan.
                Namun, disuatu hari. Ada sebuah pemikiran yang tiba-tiba muncul di kepala sang anak. Sebuah ketakutan kemudian menyusul menyelimutinya. Ia takut terhadap adiknya. Adiknya yang belum lahir. Takut jika adiknya lahir dan keberadaannya merenggut semua perhatian-atau kasih sayang yang sebelumnya milikinya. Keegoisannya mucul. Iblis menang. Kemudian sebuah surat yang di tulis oleh seorang anak kecil berumur sembilan tahun jadi. Dilipatnya secara sederhana, dan ditarunya disamping ayahnya yang tengah tertidur di kamar miliknya. Kemudian ia pergi keluar rumah. Berusaha untuk bermain. Tapi dalam hatinya ia berucap.
                “Kalau kasih sayang dan perhatian yang diberikan padanya berkurang atau diambil oleh adiknya setelah lahir. Lebih baik aku tidak punya adik” ucap kakakku dengan nada bergetar. Pertahannya amsih kuat. Air matanya belum leleh. Namun nafasnya sudah tidak begitu beraturan. Ia meminum susu coklatnya, mungkin mencoba menenangkan dirinya. Kemudian Abang lanjut bercerita.
                Sepulangnya bermain, Si ayah tersenyum menyambutnya pulang. Ia mencoba menenangkan anak kecil semata wayangnya, saat itu. Si anak hanya mengangguk anggukkan kepalanya, dalam hatinya ia amsih khawatir. Lalu tepat diakhir Juli, ia mendengar sedikit pembicaar orang tuanya yang di akhiri dengan keputusan untuk pergi kedokter kandungan. Si anak memaksa ikut. Setelah berhadapan dengan sang dokter, keadaan menjadi tegang. Raut wajah ayah dan ibunya terlihat tegang. Dokter menunjukkan ekspresi wajah yang sulit anak kecil itu jelaskan sambil mengucapkan banyak maaf. Mereka pulang dengan banyak diam. Namun tidak lama sesampainya di rumah, Si anak di tinggal sendiri bersama ibu asuhnya waktu kecil.
                Keesokan harinya, banyak tetangga dan keluarga datang kerumah. Kursi tamu di keluarkan dan bbeberapa perabot di geser menempel dinding. Membuat ruang di bagian tengah. Karpet digelar, Si anak tidak tahu ada acara apa. Dengan santai ia menonton televisi, dengan acara kartun yang disiarkan. Sekitar pukul delapan pagi. Sebuah mobil berhenti di samping barat tumahnya. Neneknya keluar dari sana sambil menggendong sesuatu. Wajahnya menyiratkan sedih sambil masuk kedalam rumah, banyak orang menyambutnya dan mereka lagsung pergi ke kamar mandi. Si anak kecil masih menonton televisi.
                Romobongan kemudian pindah kekamar si anak kecil. Di dalam ramai. Si pemilik kamar masih menonton kartun yang menyita perhatiannya. Kemudian neneknya datang menghampirinya. Ia ditawarkan untuk melihat adiknya. Adik yang dikandung ibunya. Tentau daja si anak kecil mau, tapi neneknya meminta untuk sabar. Si anak kecil tak paham. Mereka langsung pergi ke dalam kamar. Seorang bayi lucu tertidur disana, matanya terpejam. Ada beberpa rambut di kepalanya. Tenang sekali. Si anak kecil, sang kakak, kemudian menangis histeris tanpa peduli adiknya sedang tertidur disana. Ia menyadari satu hal, bayi perempuan di depannya, adiknya, tidak akan membuka matanya lagi.
                Setelah menyolatinya, mereka para pelayat mengantarkannya pergi. Isak tangis sang kakak menjadi ketika adiknya ditidurkan dan di nina bobo kan menggunakan lantunan adzan. Kemudian, setelah terutup, ia meninggalakan adiknya yang belum sempat melihat kakaknya.
                Aku mendengarnya dengan perasaan getar di hati,entah kenapa sangat sakit. Kakakku masih menunjukkan senyum yang paling ku benci. Aku amsih terus mencari hubungan cerita tadi dengan apa yang ku rasakan, mungkin lebih tepatnya kami rasakan.
                “Gak ada gunanya kamu mencarinya. Aku menyembunyikannya dengan rapi” ujarnya dengan mata merah setekah meminum gelas susunya.
                Aku masih menatapnya curiga.
                “Tapi kamu memang harus mengetahuinya. Aku akan memberitahukan hubungannya dengan aku. Dengan kita”
                Aku mengerutkan dahi menunggu ia melanjutkan jawaban.
                “Kamu sudah tahu kan kalo kita percaya ucapan adalah doa”
                Aku mengangguk.
                “Sekalipun itu tidak di ucap oleh lisan, tapi diucap oleh hati itu tetap saja doa”
                Sekali lagi, aku mengangguk
                “Dan kamu tahu siapa anak kecil dalam ceritaku tadi?”
                Untuk kali ini, Aku menggeleng.
                Kakakku mulai menangis. “Itu aku”

                Deg!!! Sakit!!! Sakit sekali!!

                Ada hal yang mengejutkan dari cerita kakakku. Sambil menangis ia memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar karena isakannya. Kemudian kalimatnya keluar, menusuk gendang telingaku. Mungkin terlihat alay, tapi ia serius mengatakannya. Keadaan yang kulihat bukan seperti ia membuat-buatnya. Katanya, “Aku membunuhnya dek. Aku membunuhnya” kemudian ia menangis semakin menjadi.
                Aku masih terdiam. Sakit sangat kurasa. Sakit yang kakakku rasakan.
               “Aku membunuh adikku sendiri” ujarnya lagi dengan tangis yang semakin menjadi. “Aku membunuhnya lewat ucapanku, lewat doaku” ujarnya lagi.

                Aku tersadar. Aku langsung memeluknya. Mencoba menenangkannya. Setidaknya hanya itu yang bisa ku lakukan, saat itu.

No comments:

Post a Comment