Di sini Si Wanita. Tulisan kali
ini akans edikit berbeda dari sebelumnya. Oiya, ini akan tetap berjudul
Percakapan Si Kembar. Karena memang, tulis menulis bukan urusan Si Lelaki
sebenarnya, ini bagianku. Mungkin akan lebih banyak tulisan deskriptif dari
pada percakapan seperti biasanya. Jangan tanya kenapa. Jikapun kamu bertanya
kenapa, jawabannya akan sangat simpel. Aku hanya ingin. Iya, hanya ingin
menuliskannya tidak seperti biasanya. Simpel bukan ?
Baiklah, aku akan mulai
bercerita. Ini lebih tentang kakakku dari pada aku sendiri. Karena cerita ini
adalah cerita dimana aku belum bangkit. Cerita dimana masih kakakku sendiri yang
menjalani hidup dan hanya ia yang mengalaminya, belum ada aku disisinya.
****
Aku
menaruh susu coklat pesanan kakakku di meja tepat di depannya, ia mengulum senyum yang aku sungguh sangat tidak
menyukainya. Aku tahu dia pintar berbohong, kita pintar berbohong. Kita bahkan
menganggapnya sebagai bakat. Tapi berbohong di depan pembohong menurutku
percuma. Itu tindakan bodoh. Aku mengeleng dan berdecak kesal sambil menaruh
sekotak tisue di samping gelasnya.
Aku
duduk di sampingnya dan langsung menyilangkan kaki kanan diatas kaki kiriku.
Tak ada permbicaraan diantara kami, kakakku masih mengangkat gelasnya mendekati
mulut sambil meniupnya sebanyak empat kali kemudian meminumnya. Aku masih
menunggunya membuka mulut sesuai janjinya.
“Kamu
siap?” ucapnya tiba-tiba.
Aku
mengangguk.
Ia
mulai bercerita. Apa yang dirasakan hatinya tidak sesuai dengan ekspresinya. Senyuman
itu aku membencinya. Betapa ia suka sekali untuk berbohong di depanku, padahal
seharusnya ia tahu itu percuma. Aku pasti mengetahuinya. Rasa sakit dihatiku
yang kurasakan saat ia bercerita bukan karena ceritanya, itu berasal dari
kakakku. Aku merasakannya juga. Aku tidak tahu kenapa ini bisa sesakit ini. Aku
mencoba mencari-cari penyebabnya, aku tak menemukannya. Dalam hatinya, dalam
pikirannya, aku tak menemukan penyebab rasa sakit yang ia rasakan –hingga aku
merasakannya juga- . ceritanya memang cerita sedih tapi aku tidak tahu kenapa
ia bisa begitu merasaan sakit yang amat terdalam.
“Kamu
merasakan sakitnya juga bukan ?” tanyanya di tengah ceritanya.
Aku kembali
mengangguk. Ia meminta maaf dengan sebuah senyum kembali diukirkannya, matanya
meningkatkan pertahannya berusaha membuat penghalang untuk tidak meluapnya air
mata miliknya. Seharusnya ia menangis saja. Kenapa ia menahannya? Abang bodoh!!
Abang
bercerita tentang seorang anak kecil. Yang hidup bahagia. Anak itu sangat bahagia.
Bahagia. Menurut kakakku, ia sampai masih ingat hal-hal kecil bagaimana anak
tersebut tertawa tanpa beban. Benar-benar tertawa dan menikmati apa yang
dilakukannya. Seorang anak laki-laki semata wayang yang bahagia. Anak itu masih
belum tahu betapa kerasnya dunia yang ia injak. Ia hanya mengetahui jika ia
senang bermain, senang berada dalam dekapan ibunya, senang beramain di sungai
bersama ayahnya, bahkan senang hanya dengan memiliki tiga buah kelereng kecil. Sesederhana
itu.
Hingga akhirnya,
perut ibunya tambah besar. Ibunya lebih bahagia dari pada sebelumnya,
ayahnyapun begitu. Dengan senyuman dan mengelus puncak kepala anaknya, sang ibu
memberitahukan kepadanya itu jika ia akan mempunyai adik. Si anak kecil
tersenyum, semakin lebar, semakin lebar lagi. Ia bahgia. Ia sangat bahagia.
Hari demi
hari berlalu. Si anak kecil sering mengelus perut ibunya. Menempelkan telinganya
ke sana berharap dapat mendengar suara dengkuran adiknya yang tertidur didalam
perut ibunya. Atau ketika ibunya memberitahukanya jika adiknya sedang
menendang-nendang ia segera bergegas menempelkan telinganya. Berharap ia juga
merasakan tendangan adiknya spontan.
Namun,
disuatu hari. Ada sebuah pemikiran yang tiba-tiba muncul di kepala sang anak. Sebuah
ketakutan kemudian menyusul menyelimutinya. Ia takut terhadap adiknya. Adiknya yang
belum lahir. Takut jika adiknya lahir dan keberadaannya merenggut semua
perhatian-atau kasih sayang yang sebelumnya milikinya. Keegoisannya mucul. Iblis
menang. Kemudian sebuah surat yang di tulis oleh seorang anak kecil berumur
sembilan tahun jadi. Dilipatnya secara sederhana, dan ditarunya disamping
ayahnya yang tengah tertidur di kamar miliknya. Kemudian ia pergi keluar rumah.
Berusaha untuk bermain. Tapi dalam hatinya ia berucap.
“Kalau
kasih sayang dan perhatian yang diberikan padanya berkurang atau diambil oleh
adiknya setelah lahir. Lebih baik aku tidak punya adik” ucap kakakku dengan
nada bergetar. Pertahannya amsih kuat. Air matanya belum leleh. Namun nafasnya
sudah tidak begitu beraturan. Ia meminum susu coklatnya, mungkin mencoba
menenangkan dirinya. Kemudian Abang lanjut bercerita.
Sepulangnya
bermain, Si ayah tersenyum menyambutnya pulang. Ia mencoba menenangkan anak
kecil semata wayangnya, saat itu. Si anak hanya mengangguk anggukkan kepalanya,
dalam hatinya ia amsih khawatir. Lalu tepat diakhir Juli, ia mendengar sedikit
pembicaar orang tuanya yang di akhiri dengan keputusan untuk pergi kedokter
kandungan. Si anak memaksa ikut. Setelah berhadapan dengan sang dokter, keadaan
menjadi tegang. Raut wajah ayah dan ibunya terlihat tegang. Dokter menunjukkan
ekspresi wajah yang sulit anak kecil itu jelaskan sambil mengucapkan banyak
maaf. Mereka pulang dengan banyak diam. Namun tidak lama sesampainya di rumah,
Si anak di tinggal sendiri bersama ibu asuhnya waktu kecil.
Keesokan
harinya, banyak tetangga dan keluarga datang kerumah. Kursi tamu di keluarkan
dan bbeberapa perabot di geser menempel dinding. Membuat ruang di bagian
tengah. Karpet digelar, Si anak tidak tahu ada acara apa. Dengan santai ia
menonton televisi, dengan acara kartun yang disiarkan. Sekitar pukul delapan
pagi. Sebuah mobil berhenti di samping barat tumahnya. Neneknya keluar dari
sana sambil menggendong sesuatu. Wajahnya menyiratkan sedih sambil masuk
kedalam rumah, banyak orang menyambutnya dan mereka lagsung pergi ke kamar
mandi. Si anak kecil masih menonton televisi.
Romobongan
kemudian pindah kekamar si anak kecil. Di dalam ramai. Si pemilik kamar masih
menonton kartun yang menyita perhatiannya. Kemudian neneknya datang
menghampirinya. Ia ditawarkan untuk melihat adiknya. Adik yang dikandung
ibunya. Tentau daja si anak kecil mau, tapi neneknya meminta untuk sabar. Si anak
kecil tak paham. Mereka langsung pergi ke dalam kamar. Seorang bayi lucu
tertidur disana, matanya terpejam. Ada beberpa rambut di kepalanya. Tenang sekali.
Si anak kecil, sang kakak, kemudian menangis histeris tanpa peduli adiknya
sedang tertidur disana. Ia menyadari satu hal, bayi perempuan di depannya,
adiknya, tidak akan membuka matanya lagi.
Setelah
menyolatinya, mereka para pelayat mengantarkannya pergi. Isak tangis sang kakak
menjadi ketika adiknya ditidurkan dan di nina bobo kan menggunakan lantunan
adzan. Kemudian, setelah terutup, ia meninggalakan adiknya yang belum sempat
melihat kakaknya.
Aku
mendengarnya dengan perasaan getar di hati,entah kenapa sangat sakit. Kakakku masih
menunjukkan senyum yang paling ku benci. Aku amsih terus mencari hubungan
cerita tadi dengan apa yang ku rasakan, mungkin lebih tepatnya kami rasakan.
“Gak
ada gunanya kamu mencarinya. Aku menyembunyikannya dengan rapi” ujarnya dengan
mata merah setekah meminum gelas susunya.
Aku
masih menatapnya curiga.
“Tapi
kamu memang harus mengetahuinya. Aku akan memberitahukan hubungannya dengan
aku. Dengan kita”
Aku
mengerutkan dahi menunggu ia melanjutkan jawaban.
“Kamu
sudah tahu kan kalo kita percaya ucapan adalah doa”
Aku
mengangguk.
“Sekalipun
itu tidak di ucap oleh lisan, tapi diucap oleh hati itu tetap saja doa”
Sekali
lagi, aku mengangguk
“Dan kamu
tahu siapa anak kecil dalam ceritaku tadi?”
Untuk kali
ini, Aku menggeleng.
Kakakku
mulai menangis. “Itu aku”
Deg!!! Sakit!!! Sakit sekali!!
Ada hal yang mengejutkan
dari cerita kakakku. Sambil menangis ia memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar
karena isakannya. Kemudian kalimatnya keluar, menusuk gendang telingaku. Mungkin
terlihat alay, tapi ia serius mengatakannya. Keadaan yang kulihat bukan seperti
ia membuat-buatnya. Katanya, “Aku membunuhnya dek. Aku membunuhnya” kemudian ia
menangis semakin menjadi.
Aku
masih terdiam. Sakit sangat kurasa. Sakit yang kakakku rasakan.
“Aku
membunuh adikku sendiri” ujarnya lagi dengan tangis yang semakin menjadi. “Aku
membunuhnya lewat ucapanku, lewat doaku” ujarnya lagi.
Aku
tersadar. Aku langsung memeluknya. Mencoba menenangkannya. Setidaknya hanya itu
yang bisa ku lakukan, saat itu.
No comments:
Post a Comment