Tuesday, 23 July 2024

Percakapan Si Kembar 35

Meratap, dalam dingin malam.
Dengan cangkir terisi separuh kopi hitam, memaksa ingatan berontak keluar dari peti yang dikunci erat.
Bukan disengaja, Terpaksa.
Mencoba menerima segala keadaan, meyangkal segala kenyataan.
Melakukan hal bodoh yang melukai hati.
Segenap raga berjuang untuk tak melukai diri.
Aku sudah berjanji.
Menjaganya untuk tak mengingkari.
Mencari cara untuk melepaskan badai rasa yang memporak porandakan jiwa.
Melakukan permainan berbahaya tanpa mengancam nyawa, namun mempertaruhkan rasa.
Dan dengan segala kutukan yang mengikuti.
Aku berusaha tetap berdiri, Menanti.
Tak peduli seberapa jauh, tak peduli seberapa lama.
Di tengah ayunan yang biasa kita gunakan, bergerak pelan menunggu kepastian yang jelas sulit akan datang.
Menikmati bayangan akan ingatan berlalu lalang didepan mata,
menutup cahaya yang ditangkap retina hingga membutakan akal sehat.
Getir menjalar keseluruh tubuh.
Tenggorokan menuntut ikatan yang tidak pernah diberikan.
Nadi berteriak gusar meminta langsung menghirup udara segar.
Sisa dari kegilaan berusaha keras untuk menahan semua bisikan yang pernah dilarang.
Gendang telinga menuntut getaran-getaran suci alam semesta,
Berharap otak bisa menerjemahkannya dan kembali berfungsi sebagaimana mestinya,
Untuk tetap sadar.
Untuk tetap tegar.
Untuk tetap sabar.
Dan untuk selalu bisa meyakinkan, pilihannya adalah bertahan.
Meski penuh luka.
Meski penuh kecewa.
Meski harus menghabiskan detik hingga tak tersisa.
Dengan menyebut nama-Nya yang penuh kuasa, tunjukkan padaku sebuah perayaan menyakitkan.
Ku akan ikut bersulang atas kebahagiaan itu sekalipun aku tidak berada dalam lingkaran.
Bersamaan dengan lantunan bait-bait penuh harap dan berkah kepada mereka yang merayakan.
xx-xx-xxxx


******


Selesai sudah tugas kontrakku bulan lalu. Aku menoleh ke samping. Ada sebuah punggung yang hisa ku lihat dengan posisi samping kanan badannya menyandar di punggung sofa. Kepalanya dipangku menggunakan tangan kanan sambil pandangan menghadap keluar jendela besar  disamping sliding door yang menghubungkan ke taman samping rumah. Aku menutup laptop yang sudah kugunakan. Lalu memiringkan badan dan bersandar kepunggung itu, kepala kami menempel. Sejenak, kirasakan sedikit gerakan dari kakakku. Sepertinya sedikit kaget namun tak berkomentar.

"Sudah ?" Tanyanya.

"Iyaaa. Kamu liat apa dari tadi ?"

"Bulan"

"Kenapa bulannya ?"

"Purnama"

"Pantes malam ini lebih dingin dari biasanya"

Kakaku terkekeh, "Ambil selimut gih" pintanya kemudian.

"Malas"

"Mau ku ambilin ?" ia menawarkan diri.

Aku menggeleng dengan kepala kami masih menempel.

"Lelah ya ?"

Aku mengangguk.

"Ketambahan beban pekerjaan kan ?"

Kembali aku mengangguk kemudian menarik badan dan kepalaku. Meraih cangkir berisi kopi susu yang tadi ku buat, lalu meminumnya.

"Padahal sudah kamu bantu, Bang" ujarku sambil kembali menaruh cangkirku.

"Gapapa, toh kamu juga udah bantu aku, malah masih berlanjut" ujarnya setelah membetulkan posisi duduknya ke posisi normal lalu meraih rokoknya dan membakar ujungnya.

"Kamu juga capek, kan ?" tanyaku sambil menoleh.

Kakak tak memberi suara, dia hanya tersenyum sambil menatap meja didepan kami. Aku mengelus kepalanya. Aku sadar setelah menjaganya. Banyak yang ia pertaruhkan tanpa menimbang jika pilihannya ternyata salah. Ia menoleh kepadaku.

"Gapapa kok, harus capek emang. Gak boleh berhenti dulu. Kalo berhenti tambah capek" jawabnya sambil tersenyum.

Sejenak, matanya mengumbar ke beberapa sisi ruangan, kemudian berbalik menatap langit malam dari kaca jendela sebesar pintu geser dibelakang kami.

Seketika ia berdiri sambil menyedot asap rokoknya dan berjalan menuju pintu geser yang juga penuh dengan kaca transparan. Matanya kembali mengumbar kearah langit, kemudian tiba riba menggeser pintu didepannya. Dinginnya malam masuk kedalam ruang, aku menggerutu.

"Emang gilaa kamu ini yaaa!?!?" sahutku sambil reflek memeluk tubuhku karena dingin. Aku beranjak hendak pergi ke kamar mengambil selimut, namun namaku dipanggil. Aku berhenti dan menoleh masih memeluk tubuhku sambil sedikit membungkuk. Kulihat rambut kakak berkibas pelan karena angin yang berhembus.

"Kamu mencari arah utara kan ?"

Aku tak segera menjawab, masih memperhatikan Lelaki gila itu melihat lihat langit malam. "Iyaa, lalu ?"

"Gapapa, hanya memastikan karena kamu gak bilang. Jadinya yaaa, akan kubantu" jawabnya masih dengan melihat-lihat langit malam.

"Trus, yang sedang kamu cari apa ?" tanyaku.

Ia menoleh ke arahku dan tersenyum sebelum menjawab.

"Sabitah"

Aku menghela nafas, kemudian langsung menuju kamar mencoba mengambil selimut. Kakak masih sibuk menerawang langit malam.

No comments:

Post a Comment