"Hei, . . . . " ujar seorang lelaki yang duduk di sebelahku.
Aku menoleh, ada sesuatu yang sepertinya cukup serius ingin dibicarakan kakak. Jika kami memanggil dengan nama, itu adalah tanda pembahasannya cukup serius. Setelah aku menoleh, keyakinanku semakin besar. Senyum yang ditunjukkannya menjadi petunjuk.
"Aku beri kamu tugas"
"Apa ?" tanyaku sambil sedikit memiringkan dudukku menghadapnya.
"Selama sebulan ini, rangkum dan tuliskan percakapan kita menjadi sebuah tulisan biasa. Terserah mau bagian mana saja yang akan kamu tuliskan atau bahkan semua. Lakukan sesuai kebijaksanaanmu" jawab kakakku.
Aku diam tak memberi respon, aku rasa ia belum menyelesaikan percakapannya.
"Sebelum itu, selama sebulan ini. Tolong bantu aku. Pertempurannya akan sedikit rumit" kalimat keduanya keluar dengan rasa yang berbeda.
Itu tadi adalah penggalan percakapan pagi hari kami di awal bulan Juni. Aku tak bisa menebak pikirannya. Memang aku tak semahir dia. Tapi, dalam bulan ini, intensitas percakapan kami lebih padat. Ia mengigau terlalu sering dari biasanya. Hal itu cukup membuatku heran, awalnya.
Aku tahu. Kami tahu. Bulan Juni adalah bulan basah. Bulan Juni juga merupakan bulan yang dingin. Bulan Juni seharusnya menjadi bulan yang hening, seharusnya. Iya. Seharusnya. Tapi tidak untuk tahun ini. Ternyata, terlalu bising dan cukup melelahkan bagiku.
Aku bisa merasakan amarahnya. Entah kepada siapa. Tiba-tiba membesar saja. Lalu satu persatu emosi negatifnya juga memberontak. Liar. Kakak hampir lepas kendali beberapa kali.
"Kuberikan ijin masuk ke beberapa ruangan jika kamu sangat kebingungan"
Kalimat itu keluar empat hari setelah percakapan kami di awal Juni. Aku tahu maksudnya. Karena selama itu pula kebingunganku membesar. Itu baru di hari kelima bulan keenam. Aku tak langsung menggunakan fasilitasnya.
Ku biarkan dulu.
Suatu hari, ia mengajakku jalan jalan. Secara tiba-tiba. Cukup jauh. Tidak, itu perjalanan yang jauh. Padestrian yang ramai, tapi tidak ada cahaya yang ditangkap oleh mata. Kakinya menolak perintah lelah dari otaknya. Hingga mata dan kesadarannya yang memaksanya untuk mengalah.
Aku menemaninya lebih sering dari biasanya. Memasang telinga lebih lekat. Mengamatinya lebih jeli. Mencoba membuatnya tetap gila. Karena waras bukan bagiannya. Membiarkannya melakukan sesukanya saat terik menyingsing dan memasang badan saat malam hadir. Karena aku, kami, sadar bahwa malam lebih menyilaukan dari pada siang.
Suatu hari, setelah kami meniup api dari koreknya secara bergantian. Ia meminta sebuah bir kesukaannya. Aku menggeleng. Ia sedikit merengek. Aku menggunakan keadaan sebagai alasan. Ia tertunduk. Aku hanya bisa memeluknya. Ia tidak menangis hanya diam. Menahan luapan dari jiwanya. Dalam hati aku hanya meminta maaf, aku hanya meyakini jika permintaannya barusan bukan hal yang ia butuhkan saat ini.
Seminggu lalu, ia datang padaku saat siang. Membawa koran, karet gelang, sisir dan gunting. Saat itu aku sedang melakukan pekerjaanku. Tiba tiba ia berjongkok didepanku menghadap keatas mempertemukan wajah kami. Ia menyerahkan gunting dan sisir. Aku menaruh laptop yang ku pangku diatas sofa kosong disebelahku dan menerima barang barang tadi. Ia tersenyum, menata koran koran dibawah untuk dijadikannya tikar kemudian berbalik dan duduk bersika. Kutarik setengah bagian rambut dikepalanya kebelakang kemudian menguncirnya. Menyisakan separuh rambut yang mulai memanjang kedepan. Aku beranjak dan berjongkok didepannya sambil menyisir sisa rambutnya yang tidak terkuncir. Beberapa bagian sudah mengikal. Aku memotongnya mencoba membuatnya terlihat rapi. Selama proses itu, ia mengigau banyak hal. Aku menanggapinya sesekali dan terkadang menanyakan beberapa hal. Untuk membuat obrolan. Setidaknya ia bisa sedikit terhibur.
"Mereka mulai belajar terbang" ujarnya.
"Oiya ? Bagaimana kamu mengajarinya" tanyaku masih dengan mencoba memotong satu sisi ikal panjangnya.
"Kubariskan di pinggiran suatu ketinggian"
"Lalu ?"
"Ku berikan satu kalimat perintah"
"Apa ?"
"Lompat dan belajarlah terbang" jawabnya sambil tersenyum.
Aku menurunkan kedua tanganku dan terkekeh, "Itu sangat kamu sekali" ujarku lalu melanjutkan merapikan rambut ikal depannya.
Semakin mendekati ujung Juni. Aku memutuskan menyusuri sebuah lorong dengan banyak pintu saat kakak tertidur. Beberapa ruangan sudah pernah ku masuki. Semua pintu terlihat sama dan tidak ada tanda apa apa. Entah sudah berapa langkah dan beberapa pintu ku coba buka namun masih terkunci. Menandakan aku belum mendapatkan akses. Kemudian, langkah kakiku berhenti dan instingku memaksa membuka pintu disebelah kiriku. Aku raih gagang pintu dan mencoba menurunkannya. Berhasil. Perlahan kudorong kedepan. Pintu terbuka menunjukkan isinya. Dejavu. Tapi beda. Aku sempat kaget. Isi ruangan dan penataannya sama dengan sebuah ruang yang pernah ku masuki beberapa tahun lalu, saat itu aku sangat terkejut karena baru membuka bau anyir menyerbak ke dalam hidung dan keadaannya sangat berantakan. Sebuah tali bersimpul tergantung ditengah, ada beberapa goresan dan pisau tertancap didinding ruang, beberapa botol kosong dan bungkusan obat berserakan di satu sisi sudut ruang, serta bekas genangan dan bercak darah mengering menyebar di beberapa titik. Namun, ruangan yang ku lihat sekarang sangat rapi, seolah belum pernah dimasuki. Aku menghela nafas mencoba mengatur detak jantung sambil berpikir untuk kembali suatu saat dengan jurigen berisi bensin dan korek.
Selama Juni ini, banyak percakapan yang kami lakukan. Tidak hanya berdua saja. Terkadang bersama kenalan kakak. Saat bersama mereka, aku lebih banyak diam. Membiarkan kakak berbicara dan tertawa. Iya, tertawa, dan aku hanya tersenyum dengan satu ujung bibir ditarik kebelakang. Semakin Juni akan berakhir, aku mengerti alasan keputusannya beberapa bulan lalu hingga beberapa bulan kedepan. Itu hanya untuk mengatasi peperangannya sendiri. Sayangnya, aku dilarang terjun ke medan perang. Aku hanya diminta membantu dari balik layar.
Sesekali aku masih menyusuri lorong dengan banyak pintu mencari ruang yang sekiranya bisa kulihat isinya. Tadi, aku memasuki sebuah ruang yang penuh dengan pajangan foto serta lukisan dengan berbagai ukuran. Cukup lama aku berdiam disitu. Mengamati satu persatu foto dan lukisan didalamnya. Ada roh yang tertinggal di ruangan tersebut, meringkuk duduk dipojokan, tapi aku tak berani menyapanya. Aku hanya berani mendekat dan duduk di sebelahnya entah berapa lama. Hingga kurasa cukup aku bangkit dan memberanikan diri untuk berpamitan keluar ruangan dan mengajaknya keluar. Roh tersebut mengangkat kepalanya menatapku, teresenyum lalu menggeleng. Ia kembali tertunduk. Aku menghela nafas kemudian melangkah keluar dan menutup kembali ruangan tersebut.
Semalam, kakak meberikanku secarik kertas berisikan tulisan. Aku menerimanya tanpa bertanya. Aku akan memberitahukannya ditulisan lain. Saat ini, kakak sedang tertidur dipangkuanku dan aku sedang melaksanakan tugas yang diberikannya. Merangkum bulan Juni. Cukup sulit karena harus menuliskannya lewat handphone. Beginilah kami, mencoba saling berbagi tugas dan memahami. Saat salah satu menjadi anak kecil, berarti harus ada yang menjadi sosok dewasanya. Kebetulan saja, bulan ini peranku menjadi orang dewasa dan aku berharap sudah melakukannya dengan baik.
No comments:
Post a Comment