Saturday, 7 March 2015

*Sengaja Tidak Terjuduli*

                Aku baru sampai. Sendal yang kotor oleh tanah sudah bersih. Begitu pula diriku sendiri ynag sedari semalam sering bermandikan air hujan dan terselimuti dingin oleh angin yang berhembus. Mata sudah sangat kering rasanya, lelah masih membungkus raga ini. Ya, aku tidak bisa tidur semalaman menikmati dingin lagi di sebuah pantai di Gunung Kidul dengan segelas kopi, api unggun dan teman-teman.
                Aku baru saja terbangun dari tidurku. Tak kuat untuk melanjutkan tulisan di atas sesampainya tadi. Aku memaksakan mata ini terpejam dan mencoba mengistirahatkan raga ini. Ketika terbangun aku masih sangat mengingatnya.
                Semalam, keadaan bisa dibilang dingin. Seharian hujan, hingga tengah malam  gerimis masih turun. Waktu terus berjalan, rasa dingin yang ku rasakan mulai membiasa denganku bersama keringnya pakaian basah yang ku kenakan karena hujan sebelumnya. Tapi hembusan angin laut yang menuju pantai masih bisa di kategorikan dingin. Setiap orang yang tidur harus menggunakan selimut untuk bisa mengurangi intensitas dingin.
                Waktu terus berjalan, aku sudah hampir menghabiskan kopi dinginku. Aku mencari kehangatan di perapian kecil yang ada. Air masih sesekali menetes. Aku berbincang-bincang. Orang-orang berceceran di sana. Hanya beberapa yang masih bisa bertahan melawan angin dingin dengan keasdarannya, lainnnya melawan tanpa kesadarannya.
                Dan seketika itu juga, aku menyadari suatu hal. Aku melakukan kesalahan. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf. Maaf.
                Aku selalu terlambat menyadarinya, mungkin ini sudah yang kedua kalinya. Aku terlambat menyadari sesuatu hal yang mungkin penting. Aku sudah memperkirakan sebabnya, tak berani memastikan, tapi tak kusangkan kenapa hingga sampai seperti itu. Tak ada yang bisa ku perbuat, persiapanku kurang. Aku sangat marah terhadap diriku sendiri. Ingin rasanya meminta bantuan orang lain, tapi aku tak bisa. Mengorbankan orang lain berbeda dengan mengorbankan diri sendiri. Lagi-lagi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam lagi. Seperti dulu, ketika kesalahan pertama terjadi, aku hanya melihat dan mencoba menenangkan tanganku yang gemetar karena takut.
                Aku tau aku dengan berpikiran begitu aku melakukan dua keasalahan langsung. Atau mungkin tiga ? Empat ? Lima ?? atau mungkin angka yang di sebutkan masih sangat kurang besar. Entahlah. Dua kali terlambat, dua kali juga aku tidak bisa melakukan apapun. Dua kali ? benarkah ? jumlah itu yang ku tahu. Yang tidak ku tahu ?

                Aku tau tulisan ini mungkin tidak akan terbaca.  Mungkin, jika ada yang membacanya juga tidak akan mengerti intinya. Orang-orang yang mengerti termasuk orang-orang yang keren. Seseorang akan tertarik dengan sesuatu yang menarik baginya bukan ?. 

Sunday, 1 March 2015

Aku Mendongeng

                Saya sedang dilanda susah tidur akhir-akhir ini. Tersiksa sih, tapi biarkan. Saya tak peduli dengan hal itu. Yah, seperti saat ini juga. Saya sedang mengerjakan proyek saya yang berhubungan dengan tulis-menulis namun sedang bertemu dengan ‘gang buntu’. Lalu saya tidak tahu harus apa. Mau melihat film atau anime, sudah kehabisan stok. Mau menggambar sedang tidak ada ide, mungkin bertemunya ‘gang buntu’ saat menulis tadi membuat ide menggambar saya menemukan permasalahan yang sama. Entahlah.
                Jadi saya harus bagaimana ?
                *Beberapa waktu kemudian setelah menghabiskan lagu berjudul Boku No Uchiage Hanabi-JKT48*
                Saya ingin berbagi pengalaman seseorang yang saya tahu. Saya ingin mendongengkannya, sedikit mungkin. Untungnya seseorang tadi tidak pernah keberatan jika pengalamannya yang saya tahu ini di bagikan kepada orang lain. Dia lebih ke ‘tidak peduli’ dengan hal tersebut, selama tidak merusak nama baiknya. Keren bagi saya. Tapi saya di sini akan menggunakan nama samaran terhadapnya. Tidak perlu susah, cukup mengambil dari nama saya yang keren, Adam Alfarisyi. Saya akan menyamarkan namanya menjadi Aris.
                Oh ya, saat saya mendongeng saya akan mengganti kata ‘saya’ menjadi ‘aku’. Kenapa ? entahlah, hanya ingin saja. Biar seperti rubrik soliloqui di buletin LPPM kampus, dimana saya menjadi hantu didalamnya. Hm, sebentar lagi saya akan mendongeng. Jangan di tertawai, saya tidak pintar untuk mendongeng. Jadi terima apa adanya saja untuk para pembaca. Baiklah, mari kita mulai.
                **
                Entah sudah berapa tahun aku mengenalnya. Jika mengetahuinya, mungkin lebih lama. Atau mungkin aku belum mengenalnya sama sekali dan hanya mengetahuinya saja. Dia Aris, seperti yang ku sebutkan tadi. Banyak hal yang aku lalui dari menjalani hidup dan permasalahannya bersamanya. Aku bisa belajar banyak hal dengannya. Salah satu orang gila yang pernah ku kenal. Silahkan berimajinasi sedniri tentang pengertian ‘gila’ yang ku title-kan padanya.
                Seperti manusia biasa. Ia pernah terlihat tersenyum, senang, terawa, sedih, menangis, galau, bingung, marah  dan lainnya. Seiring berjalannya waktu ia mulai banyak perubahan. Terlihat dewasa, mulai dari pemikiran dan gayanya. Tidak hanya raganya, ‘jiwanya’ juga mengalami perubahan pastinya, ketertarikan di lawan jenis juga sudah mulai tumbuh. Sering sekali ia bercerita banyak hal tentang apa yang terjadi dalam hidupnya. Sempat ia bercerita bagaimana ia mudah sekal tertarik kepada lawan jenis. Sebuah tipe playboy kata orang. Namun setauku ia tak pernah memiliki dua pacar atau lebih, selalu satu. Yah, jika anggapanku yang di namakan playboy itu adalah orang dengan pacar lebih dari satu.
                Ia terlihat lebih santai dalam menjalani hidupnya. Aku hampir sering heran dengan sikap santainya. Pernah dulu teman-temannya sibuk akan suatu hal dan seharusnya ia terlibat di dalam hal yang membuat teman-temannya sibuk. Ia masih bisa terlihat santai. Meski hal tersebut tak selamanya terjadi. Ia seirng mensupport dan membantu orang lain. Entah kenapa aku melihatnya ia sering memiliki pikiran yang optimis dan positif.
                Pernah juga ketika kita sedang nyangkruk, mengobrol sambil join kopi dan sebungkus rokok, aku menyinggung bagaimana perkembangannya dari dulu hingga saat itu. Perubahan yang terjadi padanya yang intinya ia bisa disebut dengan orang yang baik. Ia sedikit tersentak dan kaget tidak percaya. Lalu ia menanyakan hal yang ku sebutkan tadi apa hanya saja pendapatku. Aku menggeleng. Ya, yang ku bicarakan dengannya bukan hanya pendapatku namun juga pendapat orang lain yang pernah ku dengar. Dia kemudian menggeleng sambil menghisap nikmat rokoknya. Kemudian tertunduk. Aku hanya heran dan mengeluarkan sebuah kata dan tanda tanya, ‘Kenapa ?’.
                “Kamu salah” ujarnya lalu memandangku yang duduk didepannya, “Kalian salah” tambahnya lagi, lalu kembai menghisap rokoknya. Aku hanya diam bingung dengan ucapannya barusan. Yang ku tangkap adalah cap ‘orang baik’ yang aku, dan lainnya berikan merupakan kesalahan.
                Lalu ia bercerita banyak hal. Sambil menikmati rokok, semilir angin malam, indahnya bintang-bintang serta secangkir kopi yang mulai mendingin. Setelah ia bercerita, kali ini giliranku yang kaget. Menurutnya, ia bukan orang baik. Ia menggunakan (mungkin sekitar) 90% hidupnya mulai sejak ia keluar dari masa anak-anak hingga saat itu untuk berbohong. Kepada setiap orang yang di temuinya. Dan presentase keberhasilannya dalam berbohong katanya lebih besar. Ia berhasil membuat orang-orang melihat apa yang ingin dia perlihatkan. Membuat orang-orang berfikir apa yang ingin orang lain fikir tentangnya. Aku sedikit kaget.
                “Pasti kamu berbohong saat ini” ucapku mencoba mematahkan ceritanya barusan.
                Aris menggeleng dan menjawab jika ia jujur untuk saat ini. Yah, sekalipun ia juga berhasil dan sering membohongiku. Lalu ia tersenyum dengan hanya menarik ujung bibir kanannya. Aku tahu maksud senyum itu. Lalu ia menegaskan jika ia bukan orang baik, melainkan orang jahat. Orang jahat yang sudah banyak membohongi orang-orang di sekitarnya. Termasuk aku.
                Entah, bagaimana bisa ia hidup selama ini dengan membohongi orang-orang. Aku sendiri untuk berbohong sekali saja sudah seperti mempunyai tanggungan berat dan sudah kepikiran. Dia sudah berapa tahun ? untuk kali ini keherananku benar-benar besar. Dan aku tak tahu harus bagaimana menanggapinya. Ia kemudian berkata jika untuk setelahnya terserah padaku. Apapun yang kulakukan nanti ia tak peduli, asalkan aku tak membuat buruk namanya. Kemudian aku tak menjawab dan hanya diam sambil menghisap rokokku dalam-dalam sambil menikmatinya.
                **

                Yaps, terima kasih sudah menyimak. Sedikit dongeng dari pengalaman seseorang bernama samaran Aris, hehe. Jika pembaca ada yang ingin menanggapi atau memberi saran menururt doengeng diatas sangat di perbolehkan menulis di kolom komentar.